Aktivis '98 Desak Probowo Tindak Gubri Terkait Tambang Ilegal di Hutan Lindung

Administrator - Jumat, 18 Juli 2025 06:17 WIB
Aktivis 98 Erwin Sitompul
viralnasional.com -Pekanbaru,– Tekanan publik terhadap Gubernur Riau, Abdul Wahid, terkait dugaan korupsi dan pencucian uang dalam operasi tambang granit ilegal di kawasan hutan semakin menguat. Erwin Sitompul., aktivis 98 dan pegiat pendidikan Riau, secara tegas mendesak Presiden Probowo dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan menyelesaikan kasus yang telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung.

"Kami meminta Presiden Probowo, Kapolri, Kejagung RI, dan KPK segera bertindak. Kasus ini harus diselesaikan secepatnya, jangan sampai ada pembiaran yang merugikan negara dan merusak lingkungan Riau," tegas Sitompul saat dijumpai di Pekanbaru, Selasa (15/7/2025).

Desakan ini menyusul laporan organisasi Pemuda Tri Karya (PETIR) ke Jampidsus pada 7 November 2024.

Laporan PETIR menuding Abdul Wahid terlibat dalam dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan korupsi terkait eksplorasi tambang granit oleh PT Malay Nusantara Sukses (MNS) di Desa Keritang Hulu, Kecamatan Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir. Kawasan tersebut merupakan hutan produksi terbatas yang dilindungi.

Yang memperkeruh situasi, Gubernur Abdul Wahid tercatat menjabat sebagai Komisaris di PT MNS. Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius tentang

Dugaan Pelanggaran Berlapis PETIR mendalilkan sejumlah pelanggaran berat:

1. Operasi Tanpa Izin: PT MNS diduga beroperasi tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melanggar PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan.

2. Bukti Visual: PETIR mengaku memiliki bukti kuat berupa peta citra satelit dan data geoportal KLHK yang secara jelas menunjukkan aktivitas tambang di kawasan yang seharusnya dilindungi.

3. Skala dan Durasi: Ketua Umum PETIR, Jackson Sihombing, menyatakan eksplorasi ilegal itu mencakup area seluas 198 hektare dan telah berlangsung selama tiga tahun.

4. Potensi Kerugian Negara: Pelanggaran ini berpotensi menyebabkan kerugian negara yang signifikan. Sihombing menjelaskan perhitungan denda administratif berdasarkan peraturan yang berlaku.

"Dengan tarif denda Rp1,6 juta per hektare per tahun, jelas ada potensi kerugian yang besar," tambahnya.

PETIR memperkirakan potensi kerugian negara mencapai Rp 9,5 miliar akibat denda yang tidak dibayar selama periode operasi ilegal tersebut.

Berdasarkan dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU), PT MNS dimiliki oleh lima orang. Susunan direksinya, selain Abdul Wahid sebagai Komisaris, mencakup Haidir (Komisaris Utama), Mansun (Direktur Utama), Masrukin (Direktur), dan Ismail (Direktur). Keberadaan Gubernur Riau dalam struktur perusahaan yang menggarap sumber daya alam di wilayahnya sendiri merupakan titik kritis yang memperkuat dugaan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang.

Desakan keras Erwin Sitompul mewakili keresahan masyarakat sipil yang menginginkan transparansi dan keadilan. Kasus ini kini menjadi ujian bagi pemerintahan Presiden Probowo dan lembaga penegak hukum (Polri, Kejagung, KPK) dalam menindak tegas dugaan korupsi dan kerusakan lingkungan yang melibatkan pejabat tinggi daerah. Masyarakat Riau dan nasional menanti langkah konkret penyelidikan terhadap laporan PETIR dan keterlibatan Gubernur Abdul Wahid dalam operasi PT MNS. ***(ant)


Tag:

Berita Terkait

Berita

Polda Riau Gagalkan Penyelundupan Orang ke Malaysia dari Dumai dan Bengkalis

Berita

Ingat! Ombudsman Riau Melarang Sekolah Menjual Seragam

Berita

PT KPI Kilang Dumai Sabet Dua Penghargaan di Ajang ISRA 2025

Berita

Daftar Mutasi Pejabat Utama dan Kapolres di Jajaran Polda Riau

Berita

FP2STI Mendukung Riau Menjadi Daerah Istimewa

Berita

Ali Ghufron: Soal Iuran BPJS Kesehatan Naik Tahun Depan