viralnasional.com -- Maskapai penerbangan terbesar di Australia, Qantas, menyetujui untuk membayar denda sebesar AUD 100 juta (lebih dari Rp 1 triliun). Qantas didenda karena penerbangan hantu.Mengutip BBC, Rabu (8/5/2024), denda sebesar itu untuk menyelesaikan kasus hukum yang menuduh maskapai telah menjual ribuan tiket untuk penerbangan yang telah dibatalkan.Berdasarkan kesepakatan dengan Komisi Persaingan Usaha dan Konsumen Australia (ACCC), perusahaan itu juga akan meluncurkan sebuah rencana senilai AUD 20 juta untuk memberikan kompensasi kepada para penumpang yang terkena dampak.Kepala Eksekutif Qantas, Vanessa Hudson, mengatakan bahwa langkah ini merupakan langkah penting untuk memulihkan kepercayaan terhadap maskapai penerbangan nasional.Kasus yang disebut penerbangan hantu, yang diluncurkan oleh ACCC pada bulan Agustus, mengklaim bahwa dalam beberapa kasus, Qantas telah menjual tiket untuk penerbangan yang telah dibatalkan selama berminggu-minggu.Kesepakatan denda antara Qantas dan ACCC sekarang harus disetujui oleh Pengadilan Federal Australia.Berdasarkan rencana tersebut, pelanggan yang membeli tiket untuk penerbangan yang telah dibatalkan selama dua hari atau lebih berhak mendapatkan kompensasi.Menurut maskapai, mereka akan menerima AUD 225 untuk penerbangan domestik dan AUD 450 untuk tiket internasional."Ketika penerbangan dilanjutkan setelah penutupan akibat Covid, kami menyadari bahwa Qantas mengecewakan pelanggan," kata Hudson.Ia juga memprioritaskan pemulihan reputasi maskapai ketika ia ditunjuk untuk pekerjaan itu tahun lalu. Selain itu, dia menyampaikan bahwa perusahaan telah mengubah prosesnya dan berinvestasi dalam teknologi untuk menghindari terulangnya masalah tersebut."Kami senang telah mendapatkan pengakuan dari Qantas bahwa mereka telah menyesatkan para pelanggannya, dan telah setuju bahwa hukuman yang sangat signifikan diperlukan," ujar Ketua ACCC, Gina Cass-Gottlieb.Qantas menghadapi serangkaian skandal dan kasus hukum ketika Hudson menjadi wanita pertama yang memimpin maskapai ini.Pendahulunya, Alan Joyce, memimpin perusahaan ini melalui krisis keuangan 2008, pandemi, dan harga bahan bakar yang mencapai rekor tertinggi.Namun, pada saat Joyce mengundurkan diri pada tahun 2023, Qantas menghadapi kemarahan publik yang semakin meningkat karena harga tiket pesawat yang mahal, penundaan dan pembatalan massal, serta perlakuannya terhadap para pekerja.*** (msl/dtc/fem)